Para Nabi dan Rasul, Tidak Mengatakan Sakral Terhadap Puncak Gunung

Konon para nabi dan rasul pun, tidak untuk mengatakan sakral terhadap puncak gunung, tetapi sejarah mencatat mereka menempatkannya sebagai tempat penting untuk penyatuan diri dengan Sang Pencipta. Begitu pun di Tanah Sunda, sejak jaman nenek moyang "Puncak Gunung" dianggap tempat suci, sakral, terlarang.

Satu hal yang menarik dalam penetapannya sebagai tempat sakral, karena merupakan "Gentong Bumi", nyaitu asal, wiwitan atau sumber kehidupan.

Gentong artinya wadah dan bumi adalah tempat atau ruang hidup makhluk yang diartikan sebagai tempat berkumpulnya semua anasir hidup: tanah, air, api dan angin. Melaui media air atau disebut patanjala yang disalurkan melalui media air (jala tunda = air permukaan = sungai dan jaladri = air udara = penguapan) energi tersebut melakukan siklusnya (siklus = panyuwungan).

Gentong bumi sebagai anasir hidup, melaui media air, maka ia menjadi penghubung gelombang energi (konduktor) bagi keterhubungan/kesatuan alam semesta. Baik gelombang horizontal yang disebut dengan "Gunung Tanpa Tutugan" (rumpaka Cianjuran) sebagai energi "kamanusaan" yang menjelaskan bahwa melalui gunung energi terus mengalir "tanpa tutugan" tidak pernah berhenti dan gelombang vertikal yang disebut "Gunung Pangapungan" (rumpaka Cianjuran) sebagai energi "Kagustian" yang menjelaskan bahwa melalui gunung energi terus naik tanpa henti "nganjang ka salaka domas (naik ke alam atas)".

Baik para nabi dan rasul (disimbolkan menurut para leluhur sebagai nu katitipan (dititipkan) "SARA/KAGUSTIAN" maupun para leluhur Sunda (nu dititipan "SASAKA/KEMANUSIAAN"), memiliki pemahaman yang sama tentang fungsi puncak gunung tersebut. Ayat suci mengatakan Gunung adalah pancang dunia dan alam ini sudah ditentukan hukumnya oleh Sang Pancipta. Demikan pula leluhur menegaskan "Gunung teu meunang di lebur (gunung tidak boleh dihancurkan)" serta "hukum tangtu (hukum pasti) Buana". Maka, jelas energi semesta raya ini akan berhenti jika gunung-gunung ini hancur (dilebur).

Melalui puncak gunung "Gentong Bumi" yang dapat dijelaskan sebagai pemahaman "SARA" dan "SASAKA" yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai hubungan dengan alam (hablum minal 'alam) adalah sama untuk menjaga siklus kehidupan yang berdimensi "KEMANUSIAAN" dan "KAGUSTIAN (ILAHIAH)".

Sang Pencipta, tidak saja menetapkan kalam suci-Nya melalui aya-ayat tertulis (kitab suci QAULIYAH), tetapi juga melalui ayat-ayat yang tidak tertulis, dia-lah ayat-ayat alam semesta (KAUNIYAH).

Penistaan Alam Semesta
 
Ileggal Logging/Pembalakan Liar Kayu Hutan
Penggalian Pasir yang tak beraturan

Sang Pencipta, tidak saja menetapkan kalam suci-Nya melalui aya-ayat tertulis (kitab suci Qauliyah), tetapi juga melalui ayat-ayat yang tidak tertulis, dia-lah ayat-ayat alam semesta (Kauniyah). Bagaimana dengan mereka yang merusak lingkungan? siapa yang telah mereka nistakan? Bencana yang sekarang melanda hampir di setiap penjuru dunia, adalah akibat dari penistaan terhadap alam semesta. Dan, perlu diingat kitab suci mana pun, memerintahkan bahkan mewajibkan setiap manusia menjaga dan memelihara alam, karena sesungguhnya menjaga dan memelihara alam adalah menjaga dzat-Nya. (Rahmat Leuweung 5/12/2016)

Baca Juga :

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama