Mungkin orang bertanya tanya tentang asal muasal daerah Conggeang, Buahdua. Hariang dan sekitarnya. Misal leumbur / kampung / desa Narimbang. Mungkin kebanyakan masyarakat hanya mengenal bahwa kata Narimbang itu adalah tempat karuhun menimbang nimbang. Dan tidak diungkapkan keterkaitannya dengan sejarah yang melatarbelakanginya. Atau nama Conggeang, mungkin orang Conggeang sendiri tidak pernah tahu atau mungkin yang sudah tahu pun sedikit tentang arti Conggeang. Tetapi di tulisan di internet tidak pernah ada yang mengungkapkan tentang latar belakang mengapa di sebut dengan Conggeang. Dan ternyata kisah itu didapati justru dari kisah turun temurun dari nenek moyang desa Hariang yang diungkapkan oleh Abah Olin, karena ada keterkaitan dengan leumbur atau desa Hariang.
Conggeang menurut yang dikisahkan oleh Abah Olin adalah daerah yang turun tapi landai atau disebut juga dengan cungging. Jadi Conggeang itu berasal dari kata Cungging. Dan hal ini terbukti sekali ketika melewati daerah Conggeang, yang memang jalannya turun (mudun) tapai ladai.
Demikian juga dengan nama Malanang yang merupakan cikal bakal daerah Buahdua. Dalam tulisan di internet didapati juga tentang sejarah Buahdua, yang mengaitkan dengan Raden Agus salam yang diangkat menjadi cutak oleh bupati Sumedang untuk menjamu para tentara Mataram yang mau menyerbu Batavia, karena melewati daerah ini. Malanang memang sudah diartikan dengan suatu nama yang disebut dengan pembagi yang adil. Tetapi sebenarnya mulai kapan dijuluki sebagai pembagi yang adil. Sejarah yang diungkapkan secara turun temurun dari Hariang mengungkapkan hal tersebut diatas.
Bukan hanya Hariang, Buahdua, Conggeang dan Narimbang saja yang ada keterkaitan, dan kemungkinan kampung kampung ini berdiri hampir bersamaan. Tetapi juga daerah lainnya seperti kampung Ciliang atau Citaleus, Hariang Tongoh, Pangkalan, Pangamukan, Sungai Cimamut dan lain lain.
Belum ada tulisan baik di buku maupun di internet yang menceritakan tentang latar belakang keterkaitan kampung / leumbur Conggeang, Buahdua dan Hariang serta daerah sekitarnya. Dan mungkin tulisan ini yang pertama mengenai hal itu. Karena itu perlu ada koreksi atau kritik dari masyarakat daerah yang menjadi obyek dari kajian ini.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi apa yang dinamakan dengan "Hariang Effect", maksudnya penulisan sejarah ini akan membangkitkan kajian kajian di daerahnya masing masing. Karena untuk membangun fondasi yang kuat sebenarnya kita harus tahu yang melatarbelakanginya. Karena sehebat apapun kalau kita tetap mengambang, bagaikan buih yang tidak mempunyai kekuatan dan fondasi yang kuat. Sehingga amat gampang diombang- ambing oleh opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
MENELUSURI SEJARAH CONGGEANG, BUAHDUA DAN HARIANG
Seperti diungkapkan diatas bahwa leumbur atau kampung Hariang didirikan berbarengan dengan kampung Narimbang, Conggeang, Malanang (cikal bakal Buahdua) dan lainnya. Semu ayang diungkapkan diatas berada di bawah kabupaten Sumedang. Kampung atau leumbur atau daerah daerah ini lahir setelah ada perayaan di istana Sumedang. Dan pendiri kampung kampung tersebut adalah orang orang yang disuruh oleh Pangeran Sumedang untuk berburu (moro) banteng ke daerah Conggeang, Buahdua dan Hariang sekarang.
Setelah acara berburu yang diperintahkan oleh Pangeran Sumedang ke suatu hutan yang sekarang menjadi kecamatan conggeang dan kecamatan Buahdua. Seolah mereka yang ikut berburu tersebut terpincut pada daerah daerah yang pernah dilewatinya. Sehingga mereka kemudian membuat keputusan setelah kembali ke ibukota, mereka akan kembali lagi ke daerah yang akan menjadi perkampungannya.
Demikian suatu kisah yang diceritakan dari Abah Olin, yang mendapat cerita dari ayahnya: Aki Ojo dan seterusnya. Banyak orang di tatar sunda tidak bisa menceritakan tokoh tokoh yang paling berjasa diantara daerahnya, dan Abah Olin adalah salah seorang yang masih ada yang dapat menceritakan kisah secara turun temurun. Hal itu diceritakan juga oleh saudaranya, Bapak. Emut Muhtar, yang konon mendapat cerita ini dari ayah yang sama.
Kebanyakan masyarakat indonesia, termasuk masyarakat sunda lebih mengedepankan bahasa lisan. Karena budaya tulisan yang kurang berkembang. Mereka lebih mengedepankan budaya lisan yang turun temurun.
Kelemahan dari budaya lisan salah satunya ada kaitannya dengan daya ingat. Kisah sering terkurangi atau sering menambah apa yang menjadi materi dari subjek. Bahkan cerita kadang bercampur aduk padahal pada zaman yang berbeda.
Dalam sejarah berburu (moro) yang telah diceritakan sebelumnya. Bahwa peristiwa moro (berburu) disamping Wangsawijaya, sang pendiri Hariang, juga ada Karuhun Conggeang (sang pendiri kampung Conggeang, tetapi namanya sebenarnya tidak diceritakan), juga ada karuhun Narimbang (sang pendiri kampung Narimbang, tetapi namanya sebenarnya tidak diceritakan), Karuhun Malanang (Sang pendiri kampung Malanang (buahdua lama), dan tidak diceritakan namanya). Dan kemungkinan juga tokoh tokoh yang sering mengadakan pertemuan di Gunung Harendong Hariang. Kata Abah Olin banyak dari mereka yang ikut dalam pemburuan tersebut.
Dalam buku sejarah Hariang, karena pengaruh dari Mbah Guriang dan Demang Suria Wacana, setelah mendirikan kampung Hariang, Raden Wangsa Wijaya, biasa dikunjungi oleh para koleganya untuk kangen kangenan dan diskusi di suatu tempat yang dinamakan Gunung Harendong, yang letaknya ada di sebelah barat Hariang. Dalam buku tersebut yang sering datang adalah Buyut dipasantrenan, Dipa manggala, Singa Saraya, Buyut Aring, Buyut Kerang, Wira jenggala, Raden gadung, Buyut Malandang, Buyut Enden, Layung Kamendung dan lainnya,. Yang lainnya itu adalah Ki Sudajaya, Buyut Dipasantana, Uyut Manangeuy dan lain lain..
Pertemuan di Gunung Harendong merupakan pertemuan rutin antara karuhun (pendiri kampung) di sekitar Hariang, yang dilaksanakan di Gunung Harendong. Karena di Hariang waktu itu ada 2 tokoh sepuh yang sangat dihormati,. Disamping itu mungkin ketokohan Wangsa Wijaya yang merupakan menantu Sang Pangeran Rangga Gede atau adik ipar pengauasa selanjutnya (Pangeran Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II), atau paman dari penguasa berikutnya, Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III.
1. Karuhun Narimbang pendiri Desa Narimbang Kecamatan Conggeang
Desa Narimbang adalah suatu desa yang ada di kecamatan Conggeang. Seolah belum ada cerita atau naskah yang menceritakan secara detail tentang desa Narimbang ini yang ditulis di Internet atau buku.
Dalam kisah berburu kaum bangsawan Sumedang (Wangsawijaya dan lainnya), setelah berangkat ke daerah hutan sekitar kecamatan Conggeang sekarang. Daerah yang pertama kali tempat pemberhentian adalah apa yang disebut dengan Desa Narimbang sekarang. Sambil istirahat sejenak, para bangsawan ini berdiskusi dan menimbang nimbang ke arah mana mereka akan memulai acara perburuan (moro) banteng tersebut. Dalam suatu diskusi tersebut ada yang berkata bahwa daerah untuk menimbang nimbang ini sangat cocok untuk perkampungan. Dan dalam kisah yang diceritakan oleh Abah Olin, diungkapkan bahwa yang berbicara demikian adalah karuhun Naarimbang. Karena setelah acara perburuan dan mereka kembali ke daerah tersebut.
Mencari sejarah desa Narimbang ini memang tidak didapati di internet. Jika kita membaca tulisan dari internet yang berkaitan dengan desa Narimbang ini adalah adanya 2 makam karuhun dikeramatkan di daerah ini (Narimbang dan Conggeang) yang dianggap pendiri dari Desa Narimbang dan Conggeang. Mereka menyebut salah satu makam bernama Mbah Cacagati. Makam Mbah Cacagati berada di hutan Sawah Kalapa lereng Gunung Tampomas.
Tapak Sejarah
Secara historis, kawasan di kaki Gunung Tampomas ini mengandung tapak sejarah yang penting. Karena itulah warga Narimbang terkesan unik. Hal ini diakui banyak kalangan. Meski sifat ramah tamah warga desa Narimbang tidak diragukan, namun mereka memiliki watak yang keras. Agaknya, sejarah leluhur mereka yang membentuk itu. Soal watak keras masyarakat Narimbang ini sudah terbukti ketika mencoba mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Bahkan tidak segan-segan mereka menyerbu kantor polisi, seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Menurut sejarah, di desa ini dulu pernah berdiri kerajaan yang bernama Gunung Karang Padjadjaran yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Dewi Imbang Rasa. Kerajaan ini dianggap sebagai pecahan kerajaan Padjadjaran pasca kehancurannya. Nah, Dewi Imbang Rasa mempunyai suami bernama Kusumah Yudda. Dari sang suami, Dewi Imbang Rasa dikaruniai tiga orang puteri, yakni Dewi Kencana Ningrat, Dewi Ratna Wulan, dan Dewi Juwita Wati. Dewi Juwita Wati kemudian menikah dengan Syarif Arifin, seorang pria kebangsaan Turki.
Dewi Juwita Wati dikaruniawi seorang anak bernama Putri Cacagati. Sampai akhir hayatnya, Putri Cacagati wafat dan di makamkan di Blok Sawah Kalapa. Sampai sekarang di kenal dengan nama Mbah Cacagati, yang di atas pusaranya terjadi pembantaian lima peziarah. Wilayah kerajaan Gunung Karang ini lumayan luas, mencakup wilayah kecamatan Conggeang, Kecamatan Paseh, kecamatan Buahdua, dan sebagian Kabupaten Subang.
Nah, setelah Gunung Tampomas meletus, ibukota kerajaan sering berpindah-pindah dari Narimbang ke Haur Ngombong Tanjungsari. Kemudian pindah lagi ke Nangtung, Ungkal, Ujung Jaya, dan Cipelang. Setelah itu kembali ke Narimbang. Hingga kini tersebutlah nama Desa Narimbang, yang diambil dari nama Sang Ratu, Dewi Imbang Rasa.
Secara historis, kawasan di kaki Gunung Tampomas ini mengandung tapak sejarah yang penting. Karena itulah warga Narimbang terkesan unik. Hal ini diakui banyak kalangan. Meski sifat ramah tamah warga desa Narimbang tidak diragukan, namun mereka memiliki watak yang keras. Agaknya, sejarah leluhur mereka yang membentuk itu. Soal watak keras masyarakat Narimbang ini sudah terbukti ketika mencoba mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Bahkan tidak segan-segan mereka menyerbu kantor polisi, seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Menurut sejarah, di desa ini dulu pernah berdiri kerajaan yang bernama Gunung Karang Padjadjaran yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Dewi Imbang Rasa. Kerajaan ini dianggap sebagai pecahan kerajaan Padjadjaran pasca kehancurannya. Nah, Dewi Imbang Rasa mempunyai suami bernama Kusumah Yudda. Dari sang suami, Dewi Imbang Rasa dikaruniai tiga orang puteri, yakni Dewi Kencana Ningrat, Dewi Ratna Wulan, dan Dewi Juwita Wati. Dewi Juwita Wati kemudian menikah dengan Syarif Arifin, seorang pria kebangsaan Turki.
Dewi Juwita Wati dikaruniawi seorang anak bernama Putri Cacagati. Sampai akhir hayatnya, Putri Cacagati wafat dan di makamkan di Blok Sawah Kalapa. Sampai sekarang di kenal dengan nama Mbah Cacagati, yang di atas pusaranya terjadi pembantaian lima peziarah. Wilayah kerajaan Gunung Karang ini lumayan luas, mencakup wilayah kecamatan Conggeang, Kecamatan Paseh, kecamatan Buahdua, dan sebagian Kabupaten Subang.
Nah, setelah Gunung Tampomas meletus, ibukota kerajaan sering berpindah-pindah dari Narimbang ke Haur Ngombong Tanjungsari. Kemudian pindah lagi ke Nangtung, Ungkal, Ujung Jaya, dan Cipelang. Setelah itu kembali ke Narimbang. Hingga kini tersebutlah nama Desa Narimbang, yang diambil dari nama Sang Ratu, Dewi Imbang Rasa.
Jika memang Mbah Cacagati merupakan pendiri dari desa Narimbang, berarti karuhun Narimbang yang diceritakan dalam kisah berburu dalam sejarah Hariang tersebut. Para karuhun dulu menyebut nama Narimbang, karena pada waktu akan melakukan proses perburuan mereka berdiskusi dan menimbang nimbang ke arah mana mereka akan berburu. Dan salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah narimbang ini sangat cocok untuk dijadikan perkampungan. Jadi kemungkinan yang berkata bahwa daerah ini cocok untuk perkampungan adalah karuhun Narimbang. Dan jika memang Mbah Cacagati ini adalah pendiri dari kampung Narimbang. Berarti salah seorang peserta berburu itu adalah Mbah Cacagati.
Menurut cerita yang dibuat berdasar dari para peziarah yang menganggap bahwa kedua makam tersebut adalah makam Prabu Siliwangi dan Sunan Giri. Pendapat ini terlalu jauh dan salah kaprah. Karena dalam kisah berburu tidak disebutkan adanya kampung atau bekas kampung di daerah ini, dan masih hutan belantara. Apalagi makam sunan Giri berada di daerah Gresik, Jawa Timur. Jadi cerita yang sangat dibuat buat dan tidak berdasar.
2. Karuhun Conggeang pendiri Leumbur Conggeang
Conggeang sekarang sudah menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang. Seperti diungkapkan diatas bahwa Narimbang, dan Conggeang berdirinya hampir bersamaan dengan dusun Malanang (Buahdua) dengan Hariang.
Dalam kisah berburu utusan sang Pangeran Sumedang. Setelah mereka berdiskusi (di daerah Narimbang sekarang) dan menimbang nimbang kemana mereka akan berburu. Akhirnya diputuskan untuk menuruni pupudunan (daerah yang turun) yang landai atau dalam bahasa sunda disebut cungging. Maka salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah tersebut sangat bagus untuk dijadikan daerah perkampungan. Karena cungging (turun) maka kemudian daerah itu dikenal dengan Conggeang sekarang.
Dalam cerita berburu di era sang pangeran, dibedakan antara karuhun Narimbang dan Karuhun Conggeang. Karuhun Narimbang adalah pendiri desa Narimbang, dan karuhun Conggeang adalah pendiri kampung atau desa Conggeang (sekarang kecamatan). Jadi jika mengacu pada sejarah ini, maka kedua makam yang ada di hutan daerah Conggeang tersebut kemungkinan adalah karuhun Narimbang dan Karuhun Conggeang, yang merupakan pendiri masing masing kampung tersebut.
Jika salah satu dari mereka bernama Mbah Cacagati, maka Mbah Cacagati itu pendiri desa Narimbang atau pendiri Conggeang. Jadi perlu penyelidikan yang lebih dalam. Yang jelas mereka itu bukan makam Prabu Siliwangi atau Sunan Giri, suatu pemahaman sejarah yang salah kafrah dan mengada ada.
Karena itu melalui tulisan ini mungkin masyarakat Conggeang atau Narimbang bisa menambah data jika ada yang kurang. Supaya sejarah semakin terang benderang.
3. Karuhun Malanang pendiri Kampung Malanang kecamatan Buahdua
Kampung Malanang merupakan kampung cikal bakal desa Buahdua, yang sekarang telah menjadi ibukota kecamatan buahdua. Kampung ini berada diantara desa Gendereh dan desa Buahdua sekarang.
Para penulis sering mengaitkan antara kampung Malanang dengan persinggahan tentara Kesultanan Mataram yang akan menyerang ke Batavia, dengan tokohnya yang bernama Raden Agus Salam. Raden Agus Salam oleh bupati Sumedang disuruh menjamu tentara dari Mataram yang akan menyerang Batavia (Jakarta sekarang), yeng melewati kampung Malanang.
Raden Agus Salam ini sering disebut dengan Buyut Malanang. Jika Raden Agus Salam ini merupakan pendiri kampung malanang, berarti salah satu pemburu yang diutus sang Pangeran dari Sumedang tersebut adalah Raden Agus Salam.
Karuhun Malanang dalam kisah berburu para pangeran atau Bangsawan Sumedang, ada kaitannya dengan proses pembagian hasil buruan. Karuhun Malanang dianggap paling adil dalam hal bagi membagi. Karena ketika proses pembagian hasil buruan, ada yang tidak kebagian, yang akhirnya dagingnya hilang semua. Atas saran dari Mbah Guriang agar pembagian daging hasil buruan tersebut oleh Karuhun Malanang, karena mereka dianggap paling adil dalam hal pembagian.
Dalam kisah yang beredar di masyarakat, bahwa Raden Agus Salam, tokoh dari kampung Malanang diangkat menjadi cutak Malanang oleh penguasa Sumedang. Dan dia waktu itu disuruh menyanmbut kedatangan tentara Mataram yang melewati Sumedang yang akan menyerang Belanda di Batavia (jakarta sekarang). Jadi jelas disini apakah Raden Agus Salam ini adalah Karuhun Malanang .
Kampung Malanang ini seperti kampung naga di Tasikmalaya, yang menjaga tradisi dengan mensyaratkan jumlah 40 kepala keluarga yang dijaga selama ratusan tahun. Dikampung ini juga banyak pantangan atau pamali.
4. Singa Saraya dan Dipamanggala
Singasaraya merupakan kakak dari Dipamanggala. Mereka kakak beradik yang dikenal sebagai tukang moro istana (paningaran). Mereka berdua sering disebut Mbah dalem Pangamukan. Pangamukan merupakan suatu daerah Karamat Bantarwaru sekarang, perbatasan Sumedang dan Indramayu. Dan karamat Singaraya serta Dipamanggala di Bantarwaru.
Dalam suatu kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin, mereka terkenal sebagai penembak jitu. Mereka sering diutus oleh Sang Pangeran untuk berburu. Tetapi ketika di leuweung (hutan) Pangamukan (Pangaamukan berarti tempat ngamuknya banteng). Banteng buruan yang ia tembak (bedil) tidak kena terus. Karena itu kemudian Banteng itu dikejar (dibeurik) terus di korowot (digegel/ digigit) oleh mereka berdua.
5. Uyut Kerang dianggap sebagai pendiri Citaleus
Buyut Kerang adalah salah seorang karuhun yang sering berkumpul di Gunung Harendong di Hariang. Dia dianggap sebagai pendiri perkampoungan di Citaleus. Makamnya sekarang ada di Citunggul desa Citaleus kecamatan buahdua.
Menurut Abah Olin, Uyut Kerang ini adalah pada awalnya dia yang menjaga Hariang di perbatasan Tatanyakan Kadan sekarang (perbatasan Desa Hariang dan Kampung Ciliang). Karena beranak pinak di daerah Ciliang, Citunggul dan Citaleus, maka kemudian dianggap meenjadi karuhun daerah ini. Dan sekarang nama Buyut Kerang telah dijadikan suatu nama lapangan bola yang ada di Citunggul.
6. Buyut Aring
Buyut Aring terkenal sebagai perokok berat. Ia kalau merokok seharinya habis bakau sajamang. Sasasag jika digulung maka istilahnya menjadi sajamang (gulungan sebesar paha orang dewasa).
Buyut Aring jalannya suka engkeh engkehan. Karena itu ada istilah yang menurut Abah Olin yang diceritakan dari kakeknya Aki Lebe Kamsu, jika ada yang ngigeul (ngibing) engkeh engkehan, yang demikian disebut dengan ngigeulnya Buyut Aring.
7. Ki Sudajaya
Kisudajaya merupakan penjaga Hariang di daerah di perbatasan sungai Cigarukgak. Makamnya tidak diketahui, hanya ada ciri cirinya.
Berkaitan dengan Ki Sudajaya ini, konon jika ada jagoan / jawara hebat melewati sungai Cigarukgak (perbatasan Hariang) maka akan hilang kegagahannya atau tidak nafsu.
8. Buyut Dipasantana
Tempat tinggalnya di Ruruku (sebelah barat persawahan Cihantu sekarang). Dipasantana pernah bertarung dengan Karuhun Cihayam. Pada awalnya ia digigit telingannya sehingga cacat atau dalam bahasa sunda dikatakan Rawing. Karena itu sangat marah besar sehingga kelereng kemaluan karuhun Cihayam ini dilempar dibuang ke gunung Larangan.
Karena itu menurut Abah Olin dulu ada mitos, jika melewati daerah ruruku, berkata Rawing, maka akan terjadi hujan angin.
9. Buyut Enden
Buyut Enden ini merupakan karuhun atau pendiri leumbur Hariang Tongoh. Makam Buyut Enden ada di Hariang Tongoh.
10. Raden Gadung
Raden gadung palinggihannya (tempat tinggalnya) di Gunung Geulis, dekat makam Nyi Rajamantri.
11. Uyut Manangeuy
Uyut Mananggeuy merupakan karuhun pendiri kampung Tonjong desa Hariang. Makam uyut Manangeuy ada di kampung Tonjong desa Hariang
12. Tokoh Lainnya
Selain tokoh tokoh diatas, ada beberapa tokoh yang hingga kini masih dalam pencarian identitasnya, karena Abah Olin pun tidak begitu mengetahuinya.Tokoh tokoh yang belum diketahui keterangannya dinataranya: Buyut Dipasantrenan, Layung Kamendung, Wira Jenggala dan lain lain.
Tentang Buyut Dipasantrenan, apakah ia sama dengan Buyut Arab yang juga datang di era Hariang awal. Hal ini masih belum diketahui hubungannya. Dan makam dari Buyut Arab ada di Pangbuangan (sebelah timur percetakan genteng (lio).
Demikian kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin. Karena cerita ini merupakan kisah turun temurun yang diungkapkan secara lisan dari generasi ke generasi, mungkin banyak data yang hilang karena lupa. Karena itu melalui tulisan ini, jika ada yang mau menambahkan atau mempunyai sumber data yang berlebih adalah suatu harapan.
-------------------------------------
Penulis : Adeng Lukmantara bin Abah Olin.
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam, Asal Hariang Kab. Sumedang
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam, Asal Hariang Kab. Sumedang
Sumber : Wawancara dengan Abah Olin & Bpk. Emut Muchtar
إرسال تعليق