Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di Prov. Jawa Barat, Indonesia. Meski tersimpul nama “Sumedang” namun tidak berarti bahwa Sumedang Larang sama dengan atau serupa dengan Sumedang. Sumedang Larang adalah nama suatu kerajaan, sedangkan Sumedang adalah nama negara induk, suatu kabupatian inti kerajaan Sumedang Larang. Jadi, kerajaan Sumedang Larang mencakup Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung, Parakan Muncang, dsb. Pada abad ke-16 zaman jayanya kerajaan Pakuan Pajajaran, Sumedang Larang merupakan kerajaan daerah atau kerajaan bawahan. Kemudian -+ 1575 menjadi kerajaan yang merdeka secara “de facto”karena kekuasaan kerajaan Pajajaran sudah tidak nampak lagi di Sumedang Larang.
Asal Mula Nama
Mulanya kerajaan ini merupakan padepokan Tembong Agung (Tembong = nampak; Agung = luhur) yang didirikan Sanghyang Resi Agung (Aria Bima Raksa) di kampung Muara Leuwihideung, Darmaraja. Di sinilah beliau mempersiapkan Adji Putih, untuk menjadi pemimpin yang tangguh.
Kehadiran padepokan Tembong Agung dapat mendorong terhadap perkembangan keagamaan dan kebudayaan, secara perlahan padepokan tersebut menjadi pusat penyebaran agama dan budaya Sunda. Dalam perkembangannya menjadi kerajaan Tembong Agung, didirikan oleh Prabu Guru Adji Putih pada saat purnama bulan Muharram,dengan menobatkan Adji Putih sebagai pemangku kerajaan Tembong Agung (678 - 721 M).
Beliau menikah dengan Dewi Nawang Wulan (keturunan kerajaan Galuh) dan dikaruniai 3 putera, yaitu :
1. Bratakusumah atau Prabu Tajimalela
2. Harisdarma
3. Langlangbuana.
Ketika Bratakusumah disuruh ayahnya bertapa di gunung Nurmala selama 21 hari 21 malam,pada malam ke-21 beliau melihat segumpal sinar turun ke bumi, berputar-putar di atas gunung, menukik di sekitar pertapaan. Gumpalan sinar menyembur ke setiap arah hingga pertapaan terang benderang.Bratakusumah berkata pada pengawalnya:”insun medangan larang tapa” (aku melihat cahaya terang benderang di petapaan).
Ketika Bratakusumah disuruh ayahnya bertapa di gunung Nurmala selama 21 hari 21 malam,pada malam ke-21 beliau melihat segumpal sinar turun ke bumi, berputar-putar di atas gunung, menukik di sekitar pertapaan. Gumpalan sinar menyembur ke setiap arah hingga pertapaan terang benderang.Bratakusumah berkata pada pengawalnya:”insun medangan larang tapa” (aku melihat cahaya terang benderang di petapaan).
Pada hari k-21, Bratakusumah dipanggil ayahnya dan pada saat terang bulan dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu Tadjimalela. Beliau mengganti nama kerajaan menjadi Sudang Larang (dari kata insun medangan larang tapa) yang akhirnya hingga kini pengucapannya menjadi Sumedang.
Keprabuan
Sejak awal berdirinya Kerajaan Sumedang Larang, senantiasa dipimpin oleh seorang raja secara turun-temurun dengan gelar Prabu. Namun, memasuki akhir abad ke-16 kemunculan Kesultanan Mataram sebagai kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa berdampak besar pada perubahan di berbagai sektor kehidupan.Dalam bidang pemerintahanpun, sistem pemerintahan kerajaan Sumedang Larang yang mulanya keprabuan berubah menjadi kebupatian (kabupaten). Pangkat raja turun menjadi bupati/wedana.
Prabu Geusan Ulun adalah raja terakhir yang bergelar prabu dan dengan lengsernya Prabu Geusan Ulun (1578–1601M), maka berakhir pula masa keprabuan Sumedang Larang, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah kekuasaan Mataram dengan pemimpinnya berpangkat bupati/wedana.
1. Prabu Adji Putih (678 - 721 M)
Prabu Adji Putih (Resi Agung Cakrabuana) merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Beliau mendirikan kerajaan Tembong Agung dengan pusat pemerintahan di kampung Muhara Desa Leuwihideung kecamatan Daramaraja. Kerajaan inilah yang kelak diganti namanya oleh Prabu Tadjimalela menjadi kerajaan Sudang Larang (Sumedang Larang).
Prabu Adji Putih (Resi Agung Cakrabuana) merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Beliau mendirikan kerajaan Tembong Agung dengan pusat pemerintahan di kampung Muhara Desa Leuwihideung kecamatan Daramaraja. Kerajaan inilah yang kelak diganti namanya oleh Prabu Tadjimalela menjadi kerajaan Sudang Larang (Sumedang Larang).
Pernikahan Prabu Aji Putih dengan Ratu Dewi Nawang Wulan melahirkan beberapa putera, yaitu :
1. Bratakusumah atau Batara Tuntang Buana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela
3. Harisdarma.
3. Jagat Buana atau lebih dikenal Langlangbuana.
Pada masa pemerintahannya, beliau membangun sistem pemerintahan keprabuan yang melibatkan rakyat terutama dalam mengambil keputusan. Prabu Adji Putih menyatukan dusun-dusun yang tersebar di daerah kaki gunung Mandalasakti (Cakrabuana), gunung Sanghyang, gunung Penuh (Sindangkasih), gunung Simpay, gunung Jagat, gunung Langlangbuana, gunung Nurmala, gunung Rengganis, gunung Geulis, gunung Tampomas, daerah-daerah yang tersebar di bagian utara gunung Pareugreug dan gunung Julang.
Pada saat terang bulan tahun Sangkakala Margajayja, Prabu Adji Putih menyerahkan kekuasaannya pada Bratakusumah (prabu Tadjimalela). Setelah itu menjadi resi dan menyebrangi daratan Teluk Persi menuju negeri Mekah. Beliau telah lama mendengar agama Islam yang disebarkan Nabi Muhammad SAW. Selain itu beliau mendapat keterangan dari leluhurnya yaitu : “Hiji waktu jalan kaarifan molompong ti panto Mekah nepi ka pulo tutung, jalma antay-antayan nareangan kaarifan, tapi teu nyaho nu disebut arif” (Suatu saat jalan kearifan membujur dari pintu Mekah sampai ke pulau hitam,barisan manusia mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang disebut arif).
Selanjutnya, beliau belajar agama kepada Syekh Ali di Baghdad (Irak) mempelajari Al Qur’an dan memperdalam ilmu tauhid. Kemudian menunaikan ibadah haji dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih atau Haji Purwa Sumedang (orang yang pertama kali naik haji di Sumedang Larang).
Sekembalinya di Sumedang, Prabu Adji Putih mendapat perintah dari gurunya untuk membangun mesjid jami dan tempat-tempat wudlu. Beliau mendirikannya di sekitar kaki Gunung Nurmala, Darmaraja namun gagal karena ditentang penduduk setempat.
Untuk mengenangnya, tempat itu diberi nama Gunung Masigit. Meski gagal, tetapi semangatnya terus berpacu, sehingga dibuatlah tempat wudlu ditujuh tempat sumber mata air disebut ciwudlu tujuh muara.
Tempat-tempat wudlu itu diberi nama :
1. Cikahurifan dibuat di kaki Gunung Nurmala, gunung Sangkanjaya sekarang.
2. Cikajayaan dibuat di Paniis, Cieunteung, Darmaraja.
3. Cikawedukan dibuat di Cicanting.
4. Cikatimbulan dibuat di kampung Cibuah.
4. Cisundajaya dibuat di Tanjung Siang (Subang).
5. Cimaraja dibuat di Leuwihideung.
6. Cileumahtama dibuat di Cipeueut.
Sejak saat itulah prinsip-prinsip Islam melebur dalam keyakinan agama nenek moyang. Masyarakat lebih mengenal Gusti Alloh daripada Sanghyang Widi, Sanghyang Niskala, Sanghyang Murbeng dan Dewa-dewi mulai bergeser pada keyakinan adanya malaikat-malaikat disebut makhluk langit. Namun, kepercayaan terhadap roh-roh para leluhur masih dipertahankan, tetapi pada prakteknya sangat berbeda.
Tempat-tempat wudlu itu diberi nama :
1. Cikahurifan dibuat di kaki Gunung Nurmala, gunung Sangkanjaya sekarang.
2. Cikajayaan dibuat di Paniis, Cieunteung, Darmaraja.
3. Cikawedukan dibuat di Cicanting.
4. Cikatimbulan dibuat di kampung Cibuah.
4. Cisundajaya dibuat di Tanjung Siang (Subang).
5. Cimaraja dibuat di Leuwihideung.
6. Cileumahtama dibuat di Cipeueut.
Sejak saat itulah prinsip-prinsip Islam melebur dalam keyakinan agama nenek moyang. Masyarakat lebih mengenal Gusti Alloh daripada Sanghyang Widi, Sanghyang Niskala, Sanghyang Murbeng dan Dewa-dewi mulai bergeser pada keyakinan adanya malaikat-malaikat disebut makhluk langit. Namun, kepercayaan terhadap roh-roh para leluhur masih dipertahankan, tetapi pada prakteknya sangat berbeda.
Jadi, Prabu Adji Putihlah orang yang mula-mula mengenalkan agama Islam di Sumedang Larang dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri. Pada masa pemerintahannya agama Islam mulai dianut keluarga dan kerabat kerajaan.
Menjelang akhir hayatnya, Prabu Adji Putih menyempurnakan ilmunya di Cipeueut hingga meninggal dunia. Dimakamkan di Pajaratan Landeuh, Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja. Yang kini telah hilang oleh Waduk Jatigede.
2. Prabu Tajimalela (721 – 778 M)
Telah dikemukakan di atas bahwasannya kekuasaan Sumedang Larang diserahkan Prabu Adji Putih kepada putera tertuanya, Bratakusumah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Tadjimalela.
Sebelum menjadi raja, Bratakusumah berguru selama bertahun-tahun kepada Resi Cakra Sakti yang bermukim di Cakrabuana. Suatu waktu, beliau diperintahkan bertapa di gunung Nurmala selama 21 hari dan 21 malam. Di sanalah melakukan perjalanan spiritual menembus alam gaib. Pada malam ke-7, segumpal sinar turun dari langit melingkar-lingkar di atas gunung menyerupai ulekan ujungnya sangat tajam, perlahan-lahan berubah menyerupai selendang, lalu menukik tajam ke pertapaan gunung Nurmala.
Bratakusumah berkata kepada pengawalnya Kuntawisesa dan Purwawisesa pengawal setia menyebut Bratakusumah dengan julukan Tadjimalela. “Tadji Malela” artinya Tadji = tajam ; Malela = selendang.
Malam ke-21, segumpal sinar merah turun ke bumi, berputar-putar di atas Gunung, menukik disekitar pertapaan. Gumpalan sinar menyembur ke setiap arah hingga pertapaan terang-terangan. Bratakusumah berkata kepada pengawalnya “Insun Medangan Larang Tapa” (Aku melihat cahaya terang benderang di pertapaan yaitu tempat yang syarat dengan tantangan dan pantrangan).
Hari ke-21 Bratakusumah dipanggil oleh ayahnya, kemudian pada saat terang bulan dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu Tadjimalela. Menikah dengan Kencana Wulung putri Adinata dari Permaisuri Sari Ningrum, selanjutnya mengganti nama kerajaan menjadi Sudang Larang/Sumedang Larang (dari kata insun medangan larang tapa). Di awal kekuasaannya mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari lingkungan keluarga. Kedudukan patih dijabat oleh pamannya sendiri yaitu Astajiwa dan sejumlah menterinya terdiri dari saudara-saudaranya.
Harisdarma menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Haruman (Garut). Sedangkan Langlangbuana menjadi penghulu di daerah Lemah Putih kemudian menjadi pengabdi Kerajaan Galuh.
Sukawayana dari Kerajaan Medang Kahyangan menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Tampomas.
Pembagian tugas memperlihatkan sistem yang dibangun Prabu Tadjimalela adalah sistem monarkhi konstitusional. Pemerintahan yang paling rendah adalah dukuh (desa) dijabat oleh petinggi, kedudukannya sebagai pemimpin desa.
Pernikahannya dengan Kencana Wulung melahirkan 3 orang putera, yaitu :
1. Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung
2. Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung
3. Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun
Pada saat bulan gelap lengser keprabon dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jayabrata (Lembu Agung) kemudian menjadi resi dengan gelar Resi Bratakusumah, Resì Darmawisesa, Resi Pancarbuana dan Resi Tungtangbuana. Dipenghujung usianya menyempurnakah ilmunya di daerah Paniis hingga meninggal dunia. Dimakamkan di Paniis Desa Cieunteung Kecamatan Darmaraja.
3. Prabu Lembu Agung (778 – 893 M)
Pemangku kerajaan Sumedang Larang selanjutnya yaitu Jayabrata atau Prabu Lembu Agung. Sebenarnya, Prabu Tadjimalela kebingungan kepada siapa beliau hendak mewariskan tahta kerajaan, karena Jayabrata dan Atmabrata sama-sama mempunyai hak menerima tahta kerajaan. Sementara Jayabrata dipandang kurang cerdas, tidak memiliki bakat kepemimpinan, malah lebih suka mendalami ilmu ketauhidan. Sedangkan Atmabrata lebih suka mempelajari ilmu kepemimpinan dan sejarah.
Pada saat bulan gelap lengser keprabon dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jayabrata (Lembu Agung) kemudian menjadi resi dengan gelar Resi Bratakusumah, Resì Darmawisesa, Resi Pancarbuana dan Resi Tungtangbuana. Dipenghujung usianya menyempurnakah ilmunya di daerah Paniis hingga meninggal dunia. Dimakamkan di Paniis Desa Cieunteung Kecamatan Darmaraja.
3. Prabu Lembu Agung (778 – 893 M)
Pemangku kerajaan Sumedang Larang selanjutnya yaitu Jayabrata atau Prabu Lembu Agung. Sebenarnya, Prabu Tadjimalela kebingungan kepada siapa beliau hendak mewariskan tahta kerajaan, karena Jayabrata dan Atmabrata sama-sama mempunyai hak menerima tahta kerajaan. Sementara Jayabrata dipandang kurang cerdas, tidak memiliki bakat kepemimpinan, malah lebih suka mendalami ilmu ketauhidan. Sedangkan Atmabrata lebih suka mempelajari ilmu kepemimpinan dan sejarah.
Prabu Tadjimalela akhirnya memerintahkan keduanya agar bertapa di Gunung Sangkan Jaya selama 40 hari 40 malam dengan syarat membawa sarana ritual berupa kelapa muda (dewegan). Setelah selesai bertapa kelapa harus dibelah. Apabila kelapa itu kering atau tidak berair, berarti tidak memiliki hak menjadi raja, sebaliknya kelapa itu berair tandanya memiliki hak menjadi raja Sumedang Larang. Setelah mendapat nasehat, mereka menuju Gunung Sangkanjaya. Selesai bertapa masing-masing membelah kelapa oleh pedang kamkam pusaka kebesaran Prabu Guru Adji Putih.
Kelapa milik Jayabrata tidak berair, sedangkan kelapa Atmabrata mengandung air. Menandakan Jayabrata tidak memiliki hak menjadi raja. Sementara Atmabrata tidak menerima kenyataa itu, karena saudara tua yang berhak menjadi raja, selain tidak menghendaki terjadinya perubahan pergantian raja.
Apabila mengubah tradisi pergantian raja akan menimbulkan pertumpahan darah. Jayabrata berpandangan lain, yaitu menentang sabda raja adalah hukuman.
Namun, akhirnya Prabu Tadjimalela melalui perundingan dengan keduanya memutuskan mau tidak mau, suka tidak suka Jayabrata harus menerima tahta kerajaan. Jayabratapun menerima keputusan ayahnya dengan ucapan Darma Ngarajaan (sekedar raja). Perkataan Jayabrata ini menjadi nama sebuah kota yang dikenal Darmaraja.
Pada saat gelap bulan, dinobatkanlah Jayabrata menjadi pemangku kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Prabu Lembu Agung. Beliau menikah dengan Banon Pujasari putri Hidayat dari Sari Fatimah cucu Harisdarma.
Untuk mengatasi pengaruh politik yang timbul dari dalam maupun luar, beliau mengadakan penguatan integritas penduduk-penduduk perkotaan dan penduduk dusun-dusun yang tersebar di wilayah-wilayah Sumedang Larang. Golongan keturunan rada dan golongan resi merupakan bagian yang sangat berpengaruh di tengah-tengah kehidupan rakyatnya. Resi mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keagamaan. Prabu Lembu Agung banyak membangun sarana peribadatan dan mengembangkan kebudayaan.
Prabu Lembu Agung menyerahkan tahta kerajaan kepada Atmabrata (prabu Gajah Agung). Setelah itu menjadi resi dan menyebarkan agama di daerah sekitar Gunung Sanghyang, Rengganis, Gunung Nurmala dan berakhir di mandala Kawikhwan (Karang Kawitan) hingga meninggal dunia, dimakamkan di Astanagede Cipaku Darmaraja
4. Prabu Gajah Agung (893 – 998 M)
Setelah Prabu Lembu Agung lengser keprabon, kerajaan Sumedang Larang diteruskan oleh adiknya, Atmabrata yang lebih dikenal dengan nama Prabu Gajah Agung. Di awal kekuasaannya, Prabu Gajah Agung memindahkan keraton dari Leuwihideung ke daerah Cìgulìng, desa Pasangrahan kecamatan Sumedang Selatan.
Dari pernikahannya dengan Sariningrum, Prabu Gajah mempunyai 2 orang putera, yaitu Ratu Isteri Rajamantri yang menikah dengan prabu Silihwangì,tidak menjadi ratu karena diboyong suami ke Pakuan Pajajaran. Dan yang kedua yaitu Manggala Wirajaya/Jagabaya/Prabu Pagulingan. Setelah lengser keprabon menjadi resi dan kekuasaan Sumedang Larang diteruskan oleh puteranya, yaitu prabu Pagulingan.
Prabu Gajah Agung wafat dan dimakamkan di Cicanting desa Cisurat kecamatan Wado, sumber lain mengatakan di desa Sukamenak kecamatan Darmaraja.
Setelah Prabu Pagulingan, tahta kerajaan diteruskan oleh puteranya, yaitu Sunan Guling. Sunan Guling diganti oleh putranya bernama Sunan Tuakan yang wafat dan dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang, kecamatan Sumedang Selatan. Ia digantikan oleh puterinya bernama Nyi Mas Ratu Istri Patuakan yang menikah dengan Sunan Corenda (Sonda Sanjaya putera Jaka Puspa dari ìsteri Mayang Karuna atau cucu Prabu Jaya Dewata Sribaduga Maharaja/Prabu Siliwangi I).
Nyi Mas Ratu Istri Patuakan diganti oleh Nyi Mas Ratu Inten Dewata, yang setelah menjadi ratu Sumedang Larang memakai gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon, seorang Pangeran ulama agama Islam.
Pada saat inilah agama Islam berkembang pesat di wilayah Sumedang. Sementara kekuatan dan kekuasaan Pajajaran sudah sangat menurun dan tidak terasa di daerah serta tidak tampak lagi di Sumedang Larang yang terletak cukup jauh dari Pakuan Pajajaran. Dengn demikian kerajaan Sumedang Larang praktis merupakan kerajaan penuh, dan secara “de facto” Sumedang Larang adalah kerajaan yang merdeka.
5. Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri (1530-1579 M)
Telah dikemukakan pada artikel sebelumnya bahwa penerus tahta kerajaan Sumedang Larang setelah Nyi Mas Ratu Patuakan adalah puterinya sendiri dari hasil perkawinannya dengan Sunan Corenda, yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau yang lebih pamor dengan sebutan Ratu Pucuk Umun. Beliau memindahkan ibu kota kerajaan dari Cìguling, Pasanggrahan, Sumedang Selatan ke daerah Kutamaya, Padasuka Sumedang Utara.
Pada fase ini Sumedang Larang mengalami kemajuan yang pesat, terutama dalam bidang sastra, agama dan budaya. Selain itu, kekuasaan dan kekuatan Pajajaran sudah tidak tampak lagi di Sumedang Larang juga di kerajaan-kerajaan daerah lainnya, sehingga pada saat itu Sumedang Larang merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat penuh secara ‘de facto’. Dan benar-benar berdaulat penuh bahkan disebut-sebut sebagai penerus kerajaan Pajajara dimasa kepemimpinan Pangeran Angkawijaya, putera tertua Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun.
Pada abad ke XV muncul negara-negara baru di Pulau Jawa. Setelah Majapahit ditaklukan, munculah Kesultanan Demak yang berkedudukan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Kemunculan Syarif Hidayatullah, putera Nyi Mas Rara Santang dan Pangeran Baghdad, Irak di Pulau Jawa mendorong perkembangan negara-negara yang menganut Islam. Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Cirebon yang dalam perkembangannya menjadi pusat penyebaran agama Islam di bumi Parahiangan. Beliau yang juga bergelar Sunan Gunung Jati memperluas kekuasaan ke wilayah Barat Pajajaran dengan mendirikan Kesultanan Banten, dengan mengangkat Hasanudin sebagai Sultan Banten (1522-1579).
Kedudukan Sumedang Larang dalam fase ini berada diantara Pajajaran (meski sudah tidak berpengaruh lagi), Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten, sehingga Sumedang Larang berada dalam bayang-bayang pengaruh Islam. Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa, menetap di Karangsembung kemudian menikah dengan Kusumasari, melahirkan seorang puteri bernama Mwertasari. Kemudian dijodohkan dengan Bupati Terung Surabaya yang setelah menganut agama Islam bergelar Raden Husen atau Pangeran Pamalelaran. Perkawinan tersebut melahirkan Pangeran Tjakraningrat atau Pangeran Santri Pamalekaran Ing Wali yang kelak menjadi suami Ratu Pucuk Umun. Dalam sumber lain, yang dimaksud Pangeran Santri ini adalah cucu Syekh Maulana Abdurachman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan
Arab Hadlromaut yang berasal dari Mekah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di Kerajaan Sunda.
Pada tahun 1551, Pangeran Santri bersama santri-santrinya pergi ke Sumedang Larang dengan tujuan menyebarkan agama Islam. Santri-santrinya membawa waditra seni gembyung sebagai mediasi halus dalam menyiarkan Islam. Wangsa Syahrudin (eyang Suci) menyebarkan Islam di daerah Tanjungkerta dan sekitarnya. Sacapati, Jayapati dan Mandepati menyiarkan Islam di daerah Citimun, Cimalaka dan sekitarnya. Sedangkan Pangeran Santri menyiarkan Islam di daerah Cisarua, Ganeas dan sekitarnya. Kemudian menikah dengan Ratu Pucuk Umun. Sejak itulah Islam berkembang di lingkungan keluarga dan kerabat Ratu Sumedang Larang. Perkawinan Pangeran Santri dengan Ratu Pucuk Umun melahirkan 6 orang putera, yakni :
1. Pangeran Angkawijaya (prabu Geusan Ulun), penerus tahta kerajaan Sumedang Larang
2. Kyai Rangga Haji. Beliau mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang supaya masuk Islam
3. Kyai Demang Watang di Walakung
4. Santoan Wirakusumah yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang
5. Santoan Cikeruh
6. Santoan Awi Luar
Kesemuanya menjadi ulama, termasuk Pangeran Angkawijaya ya ulama ya umaro. Mereka menyebarkan Islam ke setiap penjuru desa. Dan sejak itulah Sumedang Larang mulai bergeser ke Cirebon.
Pangeran Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan budaya, secara perlahan-lahan prinsip-prinsip Islam menyusup ke dalam tradisi-tradisi ritual, tetapi tidak menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya, sehingga ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan. Subhanalloh…! Inilah dakwah yang dicontohkan Rosul, Islam diperkenalkan Pangeran Santri kepada penduduk Sumedang Larang secara damai, tanpa kekerasan, pertumpahan darah maupun peperangan. Seluruh masyarakat Sumedang dapat merasakan benar-benar akan sejuknya Islam yang rahmatan lil alamiin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menganut agama Islam.
KH. M. Muhyiddin Abdul Qodir Al Manafi, MA dari Asysyifa Walmahmuudiyyah Jabar mengatakan bahwa di zaman dulu tidak sedikit para resi pemeluk agama Hindu yang setelah menganut agama Islam menjadi wali/kekasih Alloh, karena mereka sendiri sebenarnya sudah tahu akan masalah Ketuhanan, dalam akalnya telah terprogram sungguh mustahil ada langit, bumi beserta isinya jika tidak ada yang menciptakan. Mereka meyakini Tuhanlah yang menciptakannya dan sudah barang tentu Tuhanya itu berbeda dengan ciptaannya. Hanya saja, mereka tidak tahu siapa Tuhan yang hak itu. Maka setelah datang Islam melalui mediasi halus, diperkenalkanlah bahwa Tuhan yang hak, sang pencipta seluruh alam itu adalah Alloh SWT. Dialah Dzat yang awal tanpa permulaan dan yang akhir tanpa ujung.
Dialah Dzat yang berdiri sendiri tanpa membutuhkan tempat ataupun yang menciptakan. Konsep-konsep Ketuhanan tersebut sudah terpatri dalam akal mereka, sehingga mereka menganut Islam dengan segera dan menyampai tingkatan makrifat, berhubung hati dan akalnya sudah penuh dengan keyakinan pada Sang Kholik dan keyakinan tersebut telah sempurna ketika mereka tahu bahwa Sang Kholiq tersebut bernama Alloh azza wajalla.
Hati yang bersih nan makrifat melahirkan karomah atau sesuatu yang luar biasa daripadanya, sehingga muncul ucapan-ucapan para sepuh “kolot baheula mah saciduh metu saucap nyata” maksudnya para sepuh zaman dahulu itu apa-apa yang diucapkan itu selalu menjadi kenyataan, malah menjadi du’a.
Maka tidak heranlah kita senantiasa meminta du’a dan ngalap berkah pada tetua kita, karena hati mereka bersih nan suci penuh dengan keberkahan.
Sebagaìmana yang disabdakan Rosululloh SAW : ”albarkatu ma’a akaabirikum” yang artinya wallohu a’lam sesungguhnya keberkahan itu ada pada tetuamu (HR. Al Hakim).
Dalam bidang seni budaya dan sastera, Pangeran Santri dan segenap ulama beserta santri-santrinya mengajarkan tata cara baca tulis Al Qur’an sehingga masyarakat mengenal huruf pegon atau huruf Arab gundul.
Buku-buku kuno peninggalan para pujangga dan resi disalin ke dalam tulisan pegon, seperti wawacan, sasakal, cacandran, uga atau wangsit dan lain-lain. Selain itu, Pangeran Santri menterjemahkan sastera-sastera pedalangan berbahasa Jawa ke dalam bahasa Sunda, seperti kakawe, nyandra, suluk dan sebagainya.
Sumber lain menjelaskan bahwa Pangeran Santri mentransfer wayang golek ke dalam wayang cepak dari mulai bentuk, warna dan karakteristik dilengkapi dengan nilai-nilai keislaman. Sebagian buku-buku sastra tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun.
Selain itu, salahsatu kesenian yang dikembangkan Pangeran Santri diantaranya adalah Gembyung, di Banten disebut Terebang. Orang Sumedang menyebut seni shalawat. Sejak masi inilah kesenian Gembyung tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sumedang. Kerajaan Sumedang Larang pada masa itu menjadi sebuah kerajaan yang kaya akan sastera dan budaya.
Menjelang akhir tahun 1579, tentara Surasowan Banten yang dipimpin Ki Jungju merebut istana Pajajaran. Tahta nobat (= alas duduk) yang disebut Sriman Sriwacana dibawa ke Banten oleh pasukan ki Jungju. Sampai sekarang ada di Banten dan dikenal sebagai “watu gigiling”. Dengan demikian Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi menobatkan rajanya. Namun, Prabu Suryakencana bersama 4 Kandagalantenya berhasil meloloskan diri dan menyelamatkan mahkota binoksari, lambang kebesaran Pajajaran kemudian sembunyi di Pulosari. Runtuhnya Pajajaran tersebut pada tanggal 14 shafar tahun Jim Akhir 1579 bertepatan dengan tanggal 22 April 1579. Tanggal inilah yang dijadikan dasar penentuan Hari Jadi Sumedang.
Setelah Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun tahta kerajaan diteruskan oleh Pangeran Angkawijaya dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung, Pasarean Gede, kelurahan Kota Kulon, Sumedang Selatan (belakang BNI ’46).
Prabu Geusan Ulun (1579-1601 M)
Setelah runtuhnya Pajajaran pada akhir tahun 1579, Prabu Suryakencana yang berhasil meloloskan diri dan menyelamatkan mahkota binokrasinya menyuruh 4 kandagalantenya yang bersamanya lolos dari kepungan tentara Surasowan, Banten untuk menyerahkan mahkotanya itu kepada penguasa Sumedang Larang yang waktu itu dipegang oleh Pangeran Angkawijaya. Merekapun langsung menuju Sumedang Larang dan segera menyerahkan mahkota mas binokrasi tersebut pada Pangeran Angkawijaya. Menurut salah satu cerita rakyat Sumedang, mereka adalah kakak beradik sekandung. Keempat kandaga lante tersebut adalah :
1. Sanghiang Hawu(Sayang Hawu)
2. Batara Dipati Wiradidjaya(Nanganan)
3. Sanghiang Kondanghapa
4. Batara Pancar Buana Terong Peot
Mereka berempat tidak kembali ke Pakuan Pajajaran yang memang telah sirna tetapi terus berbakti “geusan ulun kumawula” maksudnya hendak mengabdi kepada Sumedang Larang. Penyerahan mahkota di atas pada hakekatnya berarti bahwa Sumedang Larang menjadi penerus kerajaan Sumedang Larang. Selanjutnya, Pangeran Angkawijaya dinobatkan menjadi Raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun.
Dari rakyat Pakuan Pajajaran yang sedang bubar buyar mancawura, Prabu Geusan Ulun berhasil mengumpulkan kembali sebanyak 44 kepala rakyat yang terdiri dari 26 kandaga lante dan 18 umbul dengan cacah sebanyak -+ 9000 umpi. Dengan demikian dapat disusun kembali kekuasaan baru yaitu keprabuan Sumedang Larang dengan narendra Prabu Geusan Ulun. Pada saat itulah Prabu Geusan Ulun memproklamirkan keprabuan Sumedang Larang dengan Kutamaya ditetapkan sebagai ibu kota kerajaan.
Perselisihan Sumedang Larang Dengan Cirebon
Prabu Geusan Ulun maklum bahwa pusat agama Islam di bumi Parahiangan adalah Cirebon. Sebab itu, beliau pergi ke Cirebon dikawal oleh kandaga lantenya, dengan tujuan politis, tidak lain adalah untuk memberikan legitimasi bahwa Cirebon sebagai pusat syiar Islam terbesar di tatar Sunda. Rombongan pengagung Sumedang Larang ditempatkan di Pakungwati. Di sanalah Prabu Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya, ìsteri Pangeran Girilaya Cirebon. Sebenarnya ini kali kedua pertemuan Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya setelah bertahun-tahun lamanya mereka dipisahkan.
Kira-kira tahun 1578, ketika Pangeran Angkawijaya berusia 21 tahun, beliau diperintah ayahnya pergi ke Pajang untuk memperdalam agama Islam, sambil menunggu waktu penobatan, karena persyaratan untuk menjadi raja minimal 22 tahun. Pajang pada masa itu adalah sebagai pusat penyebaran agama Islam. Disanalah Pangeran Angkawijaya yang berparas tampan nan rupawan bertemu dengan Puteri muslim berparas cantik jelita bernama Harisbaya trah raja Pajang Madura.
Pertemuan sepasang insan adam itu menorehkan perasaan yang demikian mendalam. Ketika dua hati saling bergetar lahirlah cinta dan kasih sayang dari lubuk hati yang paling dalam. Dari titik inilah Pangeran Angkawijaya dengan Harisbaya menyatukan perasaan, pikiran dan cita-cita untuk saling mengerti, memahami dan menghayati tentang hakekat kesucian cintanya. Konsepsi cinta yang jelas terarah, terencana dan matang mengukuhkan ikrar/janji sehidup semati. Bagi Pangeran Angkawijaya baru pertama kali menemukan arti cinta yang demikian mendalam.
Pesantren Pajang baginya telah menorehkan kisah cinta dalam batas yang wajar, lajimnya pertemuan dilakukan oleh kaum Muslimin. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain, cinta dan kasih sayang yang mereka kukuhkan dipisahkan keadaan yang memaksa, karena Harisbaya dijodohkan oleh Hadijaya dengan Pangeran Girilaya susuhunan Cirebon, perbedaan usia sangat mencolok membuat Pangeran Angkawijaya kecewa.
Segumpal keputusan menghadang alur pikiran Angkawijaya membuat terhuyung-huyung dalam kebimbangan. Satu-satunya jalan terbaik bagi dirinya adalah meninggalkan pesantren Pajang.
Segumpal keputusan menghadang alur pikiran Angkawijaya membuat terhuyung-huyung dalam kebimbangan. Satu-satunya jalan terbaik bagi dirinya adalah meninggalkan pesantren Pajang.
Namun, bayangan wajah Harisbaya selalu menghantui dirinya, perlahan-lahan larut dalam renungan yang mendalam, sehingga Angkawijaya banyak merenung dan mengurung diri. Ratu Inten Dewata peka menyimak sikap puteranya yang sedang dilanda kerinduan. Agar puteranya tidak larut ke dalam keputusasaan, jalan yang terbaik menikahkan Pangeran Angkawijaya dengan Nyi Mas Gedeng Waru.
Kini pertemuan Pangeran Angkawijaya dan Ratu Harisbaya terulang kembali, namun pertemuan dengan keadaan yang sudah berbeda. Keduanya sudah berkeluarga, bahkan Ratu Harisbaya sendiri sedang mengandung 2 bulan, akan tetapi goresan kasih sayang pada masa lalu seakan merentangkan kembali harapan panjang. Itu sebabnya Harisbaya secara sembunyi-sembunyi melakukan pertemuan dengan Prabu Geusan Ulun.
Kini pertemuan Pangeran Angkawijaya dan Ratu Harisbaya terulang kembali, namun pertemuan dengan keadaan yang sudah berbeda. Keduanya sudah berkeluarga, bahkan Ratu Harisbaya sendiri sedang mengandung 2 bulan, akan tetapi goresan kasih sayang pada masa lalu seakan merentangkan kembali harapan panjang. Itu sebabnya Harisbaya secara sembunyi-sembunyi melakukan pertemuan dengan Prabu Geusan Ulun.
Pertemuan ini membuat Prabu Geusan Ulun gerah, karena akan mencurigakan pengagung Cirebon. Untuk menghindari kecurigaan, rombongan pengagung Sumedang Larang meninggalkan Pakungwati Cirebon. Saat itu juga, Ratu Harisbaya meloloskan diri dari Pakungwati Cirebon, mengejar rombongan Pengagung Sumedang Larang.
Ratu Harisbaya berhasil mengejar rombongan Pengagung Sumedang Larang dan membuat Prabu Geusan Ulun terkaget-kaget. Ratu Harisbaya mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama terpendam. Rupanya meloloskan diri baginya adalah sebagai bentuk perlawanan moral terhadap perkawinan politik yang dirancang oleh ayahnya, dengan tujuan agar Cirebon berkiblat ke Mataram. Prabu Geusan Ulun menanggapinya dengan arif, namun hal ini dimanfaatkan oleh mbah Jayaperkosa (Sayang Hawu) untuk membalas kekalahan Pajajaran atas Cirebon, karena kekuatan Sumedang Larang akan mampu mengalahkan Cirebon. Oleh sebab itu, Jayaperkosa mempengaruhi Prabu Geusan Ulun agar memboyong Harisbaya ke Sumedang Larang.
Pendapat tersebut ditolak Dipati Wirajaya karena akan menimbulkan permusuhan Sumedang Larang dan Cirebon. Akan tetapi diplomasi Jayaperkosa sungguh-sungguh meluluhkan hati Prabu Geusan Ulun, akhirnya memenuhi permintaan Harisbaya untuk diboyong ke Sumedang Larang. Ketika itu, ratu Harisbaya sedang mengandung bayi berumur 2 bulan. Ratu Harisbaya ditempatkan di ruangan khusus dan dijaga ketat oleh Jagabaya.
Timbul pertanyaan, apakah Prabu Geusan Ulun tega menikah dengan Ratu Harisbaya dalam keadaan mengandung? Mungkin hal itu terjadi, seperti dibicarakan oleh banyak orang, bahkan peristiwa tersebut melahirkan tuduhan bahwa Prabu Geusan Ulun adalah cacat sejarah. Suatu hal yang tidak mungkin seorang Raja Islam yang besar dan berbudi pekerti luhur menikahi perempuan yang mempunyai suami dalam keadaan mengandung.
Ratu Harisbaya berhasil mengejar rombongan Pengagung Sumedang Larang dan membuat Prabu Geusan Ulun terkaget-kaget. Ratu Harisbaya mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama terpendam. Rupanya meloloskan diri baginya adalah sebagai bentuk perlawanan moral terhadap perkawinan politik yang dirancang oleh ayahnya, dengan tujuan agar Cirebon berkiblat ke Mataram. Prabu Geusan Ulun menanggapinya dengan arif, namun hal ini dimanfaatkan oleh mbah Jayaperkosa (Sayang Hawu) untuk membalas kekalahan Pajajaran atas Cirebon, karena kekuatan Sumedang Larang akan mampu mengalahkan Cirebon. Oleh sebab itu, Jayaperkosa mempengaruhi Prabu Geusan Ulun agar memboyong Harisbaya ke Sumedang Larang.
Pendapat tersebut ditolak Dipati Wirajaya karena akan menimbulkan permusuhan Sumedang Larang dan Cirebon. Akan tetapi diplomasi Jayaperkosa sungguh-sungguh meluluhkan hati Prabu Geusan Ulun, akhirnya memenuhi permintaan Harisbaya untuk diboyong ke Sumedang Larang. Ketika itu, ratu Harisbaya sedang mengandung bayi berumur 2 bulan. Ratu Harisbaya ditempatkan di ruangan khusus dan dijaga ketat oleh Jagabaya.
Timbul pertanyaan, apakah Prabu Geusan Ulun tega menikah dengan Ratu Harisbaya dalam keadaan mengandung? Mungkin hal itu terjadi, seperti dibicarakan oleh banyak orang, bahkan peristiwa tersebut melahirkan tuduhan bahwa Prabu Geusan Ulun adalah cacat sejarah. Suatu hal yang tidak mungkin seorang Raja Islam yang besar dan berbudi pekerti luhur menikahi perempuan yang mempunyai suami dalam keadaan mengandung.
Sejahat-jahatnya Rahwana mengurung Dewi Sinta dalam kesendirian tidak berani merusak kehormatannya, karena cinta dan kasih sayang sejati mengalir dengan alami dan memerlukan kesadaran, ketulusan hati dan menyesuaikan diri dengan keadaan.
Panembahan Girilaya Cirebon tentu saja tidak akan membiarkan isterinya jatuh ke tangan orang lain, walaupun hatinya sudah tercabik-cabik, tetapi berusaha mencerminkan seorang sultan yang arif bijaksana dan selalu berusaha mencari tahu tentang keberadaan isterinya. Juru telik sandi pun tersebar di setiap penjuru kota dan desa untuk mencari Ratu Harisbaya. Mereka menyamar sebagai pedagang terasi, ikan asin, tukang pindang bahkan banyak yang menyamar menjadi pengemis.
Mereka bergerak ke wilayah Sumedang Larang, sebagian kesasar di hutan-hutan, dì sana mereka menunggu matahari (ngadago), sehingga tempat tersebut diberi nama Pasir Dago. Sedangkan mereka yang menyamar pedagang pindang memasuki wilayah Kutamaya. Disanalah juru telik sandi menemukan Ratu Harisbaya pada saat sedang belanja pindang bersama embannya. Juru telik sandi pun bergegas ke Cirebon untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Panembahan Girilaya marah besar karena merasa telah diperhinakan oleh Prabu Geusan Ulun. Untuk menebus kekecewaannya, beliau memerintahkan panglima perang agar menyiapkan pasukan untuk menyerbu keraton Sumedang Larang.
Panembahan Girilaya Cirebon tentu saja tidak akan membiarkan isterinya jatuh ke tangan orang lain, walaupun hatinya sudah tercabik-cabik, tetapi berusaha mencerminkan seorang sultan yang arif bijaksana dan selalu berusaha mencari tahu tentang keberadaan isterinya. Juru telik sandi pun tersebar di setiap penjuru kota dan desa untuk mencari Ratu Harisbaya. Mereka menyamar sebagai pedagang terasi, ikan asin, tukang pindang bahkan banyak yang menyamar menjadi pengemis.
Mereka bergerak ke wilayah Sumedang Larang, sebagian kesasar di hutan-hutan, dì sana mereka menunggu matahari (ngadago), sehingga tempat tersebut diberi nama Pasir Dago. Sedangkan mereka yang menyamar pedagang pindang memasuki wilayah Kutamaya. Disanalah juru telik sandi menemukan Ratu Harisbaya pada saat sedang belanja pindang bersama embannya. Juru telik sandi pun bergegas ke Cirebon untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Panembahan Girilaya marah besar karena merasa telah diperhinakan oleh Prabu Geusan Ulun. Untuk menebus kekecewaannya, beliau memerintahkan panglima perang agar menyiapkan pasukan untuk menyerbu keraton Sumedang Larang.
Senopati Cirebon membawa pasukan ke daerah perbatasan Cilutung dan Cimanuk, disanalah wadya balad Cirebon membuat kekacauan untuk memancing pasukan Sumedang Larang. Keonaran melebar ke kawasan Darmawangi dan daerah sekitarnya, sehingga menimbulkan keresahan penduduk setempat. Berita kejadian tersebut sampai ke istana. Jayaperkosa menyatakan tegas kepada seluruh pengagung Sumedang Larang siap menghadapi Cirebon.
Geger Hanjuang
Jayaperkosa menyusun pasukan tempur. Sebelum berangkat ke medan perang, menanam pohon hanjuang di halaman istana kotamadya disaksikan oleh sejumlah pengagung Sumedang Larang. “Saumpama tangkal hanjuang layu, tandana Sumedang Larang kasoran yuda, saumpama tangkal hanjuang ngemploh hejo, tandana Sumedang Larang unggul jurit” (seandainya pohon hanjuang daunnya kering dan berguguran tandanya Sumedang Larang kalah perang, sebaliknya apabila pohon hanjuang tumbuh subur, tandanya Sumedang Larang unggul dalam peperangan).
Menjelang fajar tiba, Jayaperkosa membawa pasukan ke kawasan perbatasan sungai Cilutung. Dipati Wirajaya membawa pasukan ke daerah Sudapati dan Kondanghapa membawa pasukan ke daerah Darmawangi. Keadaan di sekitar tersebut makin genting dan akhirnya perang berkobar.
Pasukan Cirebon terdesak, kemudian menambah pasukan dengan jumlah yang besar didukung oleh pasukan Tegal Jawa Tengah, akhirnya pasukan Jayaperkosa tersedak. Munculah berita bahwa pasukan Jayaperkosa gugur, kemudian Dipatijaya dan Kondang Hapa menarik pasukan di wilayah kota, selanjutnya melaporkan kejadian kepada Prabu Geusan Ulun, bahwa pasukan Jayaperkosa gugur jurit, itu sebabnya Dipati Wirajaya menyarankan agar keraton dikosongkan sebelum tentara Cirebon menyerbu.
Semula laporan Dipati Wirajaya ditanggapi dengan sikap dinin, karena seluruh pengagung Sumedang Larang tidak melihat tanda-tanda Sumedang kalah dalam peperangan. Selain itu, pohon hanjuang yang ditanam oleh Jayaperkosa tumbuh subur (sampai sekarangpun masih tumbuh, berada di Kutamaya; Dusun Panjaleran Desa Padasuka, Sumedang Utara), akan tetapi diplomasi Wirajaya sangat masuk akal, sehingga mempengaruhi pikiran pengagung Sumedang Larang untuk segera mengungsi. Prabu Geusan Ulun akhirnya mengosongkan keraton dan mengungsi ke gunung Rengganis atau Dayeuh Luhur (dayeuh = kota; luhur = tinggi) sekarang berada di kawasan kecamatan Ganeas.
Sementara Jayaperkosa menarik pasukan ke kota, terkejutlah setelah keraton Kutamaya dikosongkan oleh seluruh pengagung Sumedang Larang membuat Jayaperkosa kecewa berat. Kemudian mencari tahu kepada penduduk. Pada saat berada di daerah Baginda, Jayaperkosa mendapat keterangan dari seorang penduduk bahwa pengagung Sumedang mengungsi di Dayeuh Luhur. Jayaperkosa mendatangi daerah tersebut, namun disambut oleh siaga perang, membuat Jayaperkosa terheran-heran, kemudian mengecam seluruh pengagung Sumedang Larang berkhianat. Kecaman itu sangat menyinggung perasaan Prabu Geusan Ulun, kemudian menyuruh bawahannya untuk menangkap Jayaperkosa.
Pertarungan berlangsung seru, tetapi Dipati Wirajaya, Pancarbuana dan Nanganan terdesak, ketika hendak dibunuh meloloskan tegal arung, kemudian Dipati Wirajaya bersembunyi di daerah Paniis. Sedangkan Pancarbuana meloloskan diri ke daerah Nangtung dan Kondang Hapa bersembunyi di hutan belantara.
Geger Hanjuang
Jayaperkosa menyusun pasukan tempur. Sebelum berangkat ke medan perang, menanam pohon hanjuang di halaman istana kotamadya disaksikan oleh sejumlah pengagung Sumedang Larang. “Saumpama tangkal hanjuang layu, tandana Sumedang Larang kasoran yuda, saumpama tangkal hanjuang ngemploh hejo, tandana Sumedang Larang unggul jurit” (seandainya pohon hanjuang daunnya kering dan berguguran tandanya Sumedang Larang kalah perang, sebaliknya apabila pohon hanjuang tumbuh subur, tandanya Sumedang Larang unggul dalam peperangan).
Menjelang fajar tiba, Jayaperkosa membawa pasukan ke kawasan perbatasan sungai Cilutung. Dipati Wirajaya membawa pasukan ke daerah Sudapati dan Kondanghapa membawa pasukan ke daerah Darmawangi. Keadaan di sekitar tersebut makin genting dan akhirnya perang berkobar.
Pasukan Cirebon terdesak, kemudian menambah pasukan dengan jumlah yang besar didukung oleh pasukan Tegal Jawa Tengah, akhirnya pasukan Jayaperkosa tersedak. Munculah berita bahwa pasukan Jayaperkosa gugur, kemudian Dipatijaya dan Kondang Hapa menarik pasukan di wilayah kota, selanjutnya melaporkan kejadian kepada Prabu Geusan Ulun, bahwa pasukan Jayaperkosa gugur jurit, itu sebabnya Dipati Wirajaya menyarankan agar keraton dikosongkan sebelum tentara Cirebon menyerbu.
Semula laporan Dipati Wirajaya ditanggapi dengan sikap dinin, karena seluruh pengagung Sumedang Larang tidak melihat tanda-tanda Sumedang kalah dalam peperangan. Selain itu, pohon hanjuang yang ditanam oleh Jayaperkosa tumbuh subur (sampai sekarangpun masih tumbuh, berada di Kutamaya; Dusun Panjaleran Desa Padasuka, Sumedang Utara), akan tetapi diplomasi Wirajaya sangat masuk akal, sehingga mempengaruhi pikiran pengagung Sumedang Larang untuk segera mengungsi. Prabu Geusan Ulun akhirnya mengosongkan keraton dan mengungsi ke gunung Rengganis atau Dayeuh Luhur (dayeuh = kota; luhur = tinggi) sekarang berada di kawasan kecamatan Ganeas.
Sementara Jayaperkosa menarik pasukan ke kota, terkejutlah setelah keraton Kutamaya dikosongkan oleh seluruh pengagung Sumedang Larang membuat Jayaperkosa kecewa berat. Kemudian mencari tahu kepada penduduk. Pada saat berada di daerah Baginda, Jayaperkosa mendapat keterangan dari seorang penduduk bahwa pengagung Sumedang mengungsi di Dayeuh Luhur. Jayaperkosa mendatangi daerah tersebut, namun disambut oleh siaga perang, membuat Jayaperkosa terheran-heran, kemudian mengecam seluruh pengagung Sumedang Larang berkhianat. Kecaman itu sangat menyinggung perasaan Prabu Geusan Ulun, kemudian menyuruh bawahannya untuk menangkap Jayaperkosa.
Pertarungan berlangsung seru, tetapi Dipati Wirajaya, Pancarbuana dan Nanganan terdesak, ketika hendak dibunuh meloloskan tegal arung, kemudian Dipati Wirajaya bersembunyi di daerah Paniis. Sedangkan Pancarbuana meloloskan diri ke daerah Nangtung dan Kondang Hapa bersembunyi di hutan belantara.
Jayaperkosa sendiri menuju ke Kabuyutan yang letaknya tidak jauh dari sana. Sebelum wafat, dia berpesan bahwa jika dia meninggal dunia agar mayatnya dikubur dengan sikap duduk supaya kepalanya tidak mengarah ke tempat siapapun juga, tetapi menghadap ke kabuyutan. Rupanya pesan ini dilaksanakan. Makam mbah Jayaperkosa lain dari yang lain berbentuk bulat dengan satu tetengger batu di tengah.
Perselisihan Sumedang Larang-Cirebon sampai juga ke Istana Kesultanan
Mataram, karena Panembahan Girilaya mengirimkan surat kepada Sinuhun Mataram untuk mohon pertimbangannya. Sultan Hadiwijaya menyarankan agar menempuh jalan hukum Islam. Ratu Harisbaya telah nusyuz dan sebaiknya dibeli saja talaknya oleh Prabu Geusan Ulun. Panembahan Girilaya pun mengirim utusan ke Sumedang Larang sesuai dengan saran Susuhunan Mataram. Prabu Geusan Ulun menerimanya, maka masalah Ratu Harisbaya diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Panembahan Girilaya mencerai Ratu Harisbaya dan talak Ratu Harisbaya dibeli oleh Prabu Geusan Ulun, tetapi tidak dibayar dengan uang melainkan dengan daerah yaitu daerah Sindangkasih (Majalengka sekarang). Sejak itu Majalengka termasuk wilayah Cirebon. Hubungan Sumedang Larang-Cirebon pun rukun kembali.
Wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun meliputi Kuningan, Bandung, Parakanmuncang, Garut, Sukapura dan Sukabumi. Dalam fase ini Sumedang Larang berjumlah 9000 jiwa, tersebar di 40 daerah, setiap daerah dipimpin oleh seorang Kandagalante atau kepala daerah.
Wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun meliputi Kuningan, Bandung, Parakanmuncang, Garut, Sukapura dan Sukabumi. Dalam fase ini Sumedang Larang berjumlah 9000 jiwa, tersebar di 40 daerah, setiap daerah dipimpin oleh seorang Kandagalante atau kepala daerah.
Prabu Geusan Ulun melakukan invasi ke belahan timur, namun tidak berhasil menguasai wilayah Pajajaran, karena sebagian daerah tersebut telah direbut oleh Mataram.
Dari pernikahannya dengan Nyi Mas Gedengwaru, Prabu Geusan Ulun mempunyai 13 putera dan puteri, yaitu:
1. Pangeran Ranggagede
2. Rd. Ariya Wiraredja
3. Rd. Rangga Petrakelasa
4. Rd. Ariya Radjapatri
5. Nyi Mas Ngabehi Watang
6. Nyi Mas Demang Tjipaku
7. Nyi Mas Mertayuda
8. Nyi Mas Rangga Pamande
9. Nyi Mas Rangga Wiratma
10. Nyi Mas Rangga Nitinagara
11. Nyi Mas Dipati Ukur
12. Dipati Kusumayuda
13. Tumenggung Tegalkalong
Dari Ratu Harisbaya mempunyai satu orang putera, yaitu Rd. Kartajiwa. Sementara putera Ratu Harisbaya dengan Panembahan Girilaya bernama Pangeran Suriadiwangsa yang kelak menjadi penerus Prabu Geusan Ulun.
Sedangkan dari Nyi Mas Pasarean, Prabu Geusan Ulun mempunyai satu putera yang bernama Kyai Demang Tjipaku.
Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur, demikian juga makam Ratu Harisbaya. Setelah itu, tahta kerajaan Sumedang Larang dilanjutkan oleh Pangeran Suriadiwangsa (putera Ratu Harisbaya dengan Panembahan Girilaya, namun sudah dianggap seperti anak kandung sendiri).
Pada masa Pangeran Suriadiwangsa, tersiar berita bahwa raja-raja di Jawa ramai-ramai menyerahkan diri ke Mataram untuk menjadi bawahannya. Demikian juga Pangeran Suriadiwangsa akhirnya secara suka rela datang ke Mataram untuk memohon agar Sumedang menjadi bagian Mataram, sultan Agungpun merasa gembira dan langsung mengangkat Pangeran Suriadiwangsa sebagai bupati merangkap bupati wedana atas wilayah Mataram bagian barat yang meliputi seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten. Sejak saat itulah sistem pemerintahan Sumedang Larang berubah menjadi Kabupatian/kabupaten dengan pemimpin berpangkat bupati.
Sumber :
- Riwayat Hidup Raja-Raja Sumedang, WD. Dharmawan Ider Alam
- Naskah Sejarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950, Drs. Bayu Surianingrat.
إرسال تعليق